MEMBANGUN ETIKA DAN BUDAYA POLITIK

MEMBANGUN ETIKA DAN BUDAYA POLITIK
Bagikan

METRORAKYAT.COM, MEDAN – Demokrasi Indonesia telah mendapat pujian dari berbagai negara-negara di dunia. Dan Bangsa Indonesia telah dinobatkan demokrasi terbesar ketiga (3) diatas jagat raya ini. Hal itu tentu sangat membanggakan bagi anak-anak negeri di Fora Internasional.

Namun, kebanggaan itu tidak bisa membuat terlena dan euforia berlebihan dalam upaya peningkatan kualitas demokrasi di negeri ini. Harus jujur diakui, demokrasi masih lebih cenderung demokrasi prosedural dibandingkan demokrasi substantif. Padahal, demokrasi yang dicita-citakan anak-anak Ibu Pertiwi Indonesia sejatinya adalah demokrasi substantif dilandasi etika dan budaya politik yang baik dan benar agar mampu menghadirkan negarawan-negarawan tumpuan harapan mengemban amanah kepercayaan rakyat serta pemimpin otentik, pemimpin untuk semua di Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah HARGA MATI.

Bangsa Indonesia baru saja melaksanakan perhelatan demokrasi Pilpres, Pileg Serentak 17 April 2019 di seluruh wilayah kedaulatan NKRI maupun di berbagai Diaspora bangsa Indonesia. Perhelatan pesta demokrasi rakyat 2019 telah memberi pelajaran sangat berharga bagi anak-anak negeri.

Pesta demokrasi rakyat yang seharusnya diisi menu-menu kegembiraan, kesenangan, kebahagiaan telah diwarnai dinamika, romantika tidak seharusnya terjadi pada sebuah pagelaran pesta dilandasi etika kesantunan, keadaban serta budaya sportivitas menghormati, menghargai satu sama lain.

Pesta demokrasi 2019 telah usai digelar aman, nyaman, tenteram dan hasil kompetisi Pilpres, Pileg Serentak 2019 tinggal menunggu hasil Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki otoritas mutlak absolut diatur konstitusi. Akan tetapi, sungguh arif bijaksana bila seluruh anak negeri memikirkan bagaimana “Membangun Etika dan Budaya Politik” lebih berkualitas ke depan. Hal itu sangat diperlukan agar dinamika, romantika politik yang seharusnya tidak terjadi tak terulang kembali di masa akan datang.

Pembukaan UUD RI 1945 telah mengamanatkan salah satu tujuan pendirian negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan telah dijabarkan gamblang pada Undang-undang No. 22 tahun 2011 Atas Perubahan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Pada pasal 34 ayat (3a) point b tegas diamanahkan berbunyi selengkapnya, “Pemahaman mengenai Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik”.

Membangun etika dan budaya politik adalah sebuah keniscayaan agar anak-anak negeri sadar dan melek politik selaku warga negara yang baik dan benar. Sebab, warga negara tidak boleh “terisolasi” dari kebijakan negara atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat salah satu bentuk sistem bernegara telah disepakati pendiri bangsa (founding fathers) ketika mendirikan Republik Indonesia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) “Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)”. Sedangk an “Budaya ialah 1) pikiran; akal budi; 2)adat istiadat; 3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); 4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah”. “Budaya politik ialah pola sikap, keyakinan, dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti kepada tingkah laku dan proses politik dalam suatu sistem politik, mencakup cita-cita politik ataupun norma yang sedang berlaku dalam masyarakat politik”.

Dari konteks KBBI diatas Etika dan Budaya Politik memberi landasan esensial fundamental bagi setiap politisi, elite politik maupun masyarakat selalu menjunjung etika moral sesuai budaya dan norma-norma yang dijunjung ditengah kehidupan masyarakat dan bangsa bersangkutan.

Etika menitik beratkan pada etika moral mana yang baik dan mana yang buruk akan membatasi dan membentengi “naluri kebinatangan politik” menghalalkan segara cara, termasuk tindakan tak terpuji yang melanggar norma-norma kesantunan, keadaban, kejujuran, kebenaran, keadilan, akuntabilitas, integritas, dll. Etika pergaulan saling menghormati, menghargai dalam perbedaan, keragaman, kemajemukan atau kebhinnekaan sesama anak Ibu Pertiwi Indonesia akan menghindarkan perilaku kumuh tak beradab yang menonjolkan fanatisme buta sektarian-primordial atas sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) memecah Persatuan Indonesia, Persaudaraan sesama anak bangsa.

Sungguh sangat disayangkan dan disesalkan maraknya ujaran kebencian, fitnah, hoax atau kebohongan, hujat, hasut, adu domba, provokasi, agitasi, kampanye hitam, dll pada Pilpres, Pileg Serentak 2019.

Jika semua menyadari dampak kerusakan ditimbulkan taktik strategi tanpa etika politik itu, pasti situasi karut-marut politik tak akan terjadi saat ini. Tapi apa lacur, bangsa besar ini ternyata masih minus jiwa kenegarawanan yang menjunjung tinggi etika moral politik yang baik dan benar. Politisi-politisi negeri masih sekadar politisi, bahkan masih disesaki politisi sontoloyo haus kuasa hampa etika mormora,
Etika akan menuntun setiap orang mengerti, memahami mana yang baik, mana yang buruk menurut etika moral atau akhlak yang dijunjung ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekalipun secara peraturan perundang-undangan tidak salah, tetapi menurut etika moral, akhlak tidak bisa diterima.

Seorang negarawan tidak semata-mata berbicara legal formal aturan perundangan belaka, tetapi menjunjung tinggi etika moral atau akhlak yang baik dan benar. Etika berhubungan pada asas kepatutan, kepantasan yang jauh lebih tinggi daripada legal formal belaka. Asas kepatutan inilah penanda utama kualitas karakter mental, moral pantas ditiru dan digugu dari pribadi seseorang.

Budaya politik pola sikap, keyakinan, dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti kepada tingkah laku dan proses politik dalam.suatu sistem politik, mencakup cita-cita politik ataupun norma yang sedang berlaku dalam.masyarakat politik. Taat asas, rule of game adalah sebuah budaya politik harus dibangun terus-menerus serta berkesinambungan.

Budaya jujur, budaya sportivitas, budaya bertanggungjawab, budaya menghormati keunggulan pihak lain, budaya siap kalah siap menang adalah cermin nyata kedewasaan politik yang harus ditanamkan kepada setiap.politisi. Budaya malu berbuat curang, malu menyebar hoax atau kebohongan harus dibangun terus-menerus dan berkelanjutan. Sebab, hoax atau kebohongan menimbulkan “bencana sosial” paling dahsyat menghancurkan keutuhan bangsa. Berbuat salah adalah manusiawi, tapi berbohong tidak bisa ditolerir sama sekali..

Sungguh sangat disayangkan dan disesalkan perilaku politisi tidak siap menang siap kalah menimbulkan karut-marut politik pasca kontestasi. Bila budaya sportif, siap menang siap kalah telah tertanam di dalam.hati pikiran politisi dengan baik dan benar maka usulan “Rekonsiliasi Nasional” tidak perlu muncul.di ruang publik. Sebab setiap kompetisi pasti ada yang kalah dan menang. Pihak yang kalah menghormati dan menghargai keunggulan orang lain. Budaya politik seperti ini harus benar-benar disadari setiap orang sebelum berkompetisi dalam kompetisi apapun.

Selain daripada itu, budaya akuntabel (bertanggungjawab) harus selalu dikedepankan dalam politik. Akuntabilitas hukum, akuntabilitas moral, akuntabilitas iman kepada Tuhan Yang Maha Esa bahagian integral harus diemban setiap orang dalam.politik. Sebab tanpa akuntabilitas akan melahirkan politisi-politisi pecundang a moral.

Inilah salah satu agenda mendesak perlu dilakukan agar terbangun etika dan budaya politik melahirkan negarawan-negarawan hebat menjadi pemimpin otentik, pemimpin untuk semua memiliki etika moral.dan budaya politik pantas ditiru dan ditauladani. (MR/RED)

Medan, 27 April 2019..
Sala NKRI…….!!! MERDEKA……..!!!
Drs. Thomson Hutasoit.

Redaksi Metro Rakyat

PT. Metro Rakyat Kreasi - Situs Berita Portal online - Berita Mendidik, Aktual & Inovatif.