Transparansi yang Terkubur di Balik Bantuan MCK: Warga Simeulue Mulai Bertanya

Transparansi yang Terkubur di Balik Bantuan MCK: Warga Simeulue Mulai Bertanya
Bagikan

“Diam adalah pengingkaran ketika kebenaran dituntut hadir”

SIMEULUE — Masyarakat di salah satu desa dalam wilayah Kabupaten Simeulue mempertanyakan transparansi dalam penyaluran bantuan pembangunan fasilitas MCK (WC). Ketiadaan informasi mengenai siapa yang menerima, bagaimana kriteria penentuan penerima, dan dari mana dana itu bersumber, membuat warga merasa kebijakan tersebut belum tepat sasaran.

“Kami hanya melihat bangunan mulai berdiri, tapi tidak tahu siapa penerimanya dan mengapa mereka yang dipilih. Tidak ada penjelasan sama sekali dari pemerintah desa,” ujar seorang warga yang meminta namanya tidak disebut.

Diamnya para pejabat, baik dari pemerintah desa maupun pihak kabupaten, justru memperkuat kecurigaan publik. Tak satu pun dari mereka memberikan keterangan resmi atau menyampaikan data penerima kepada publik.

Padahal, dana bantuan tersebut berasal dari anggaran negara. Itu artinya, uang rakyat. Maka, pengelolaannya pun semestinya dilakukan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Ketika pejabat publik memilih bungkam, maka yang lahir bukan hanya rasa kecewa — tapi juga hilangnya kepercayaan.

Bukan Lagi Soal Administrasi, Tapi Keadilan

Sikap diam itu tak bisa lagi dianggap sebagai bentuk kehati-hatian birokrasi. Ia berubah menjadi pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi: keterbukaan informasi. Warga patut bertanya, apakah bantuan ini diberikan berdasarkan kebutuhan? Atau hanya untuk mereka yang dekat dengan kekuasaan?.

Kita tahu, tidak semua proses birokrasi berjalan sempurna. Namun, dalam hal bantuan sosial, keterlambatan informasi bisa berarti ketidakadilan. Ketika keadilan tidak tampak, kepercayaan pun retak. Itulah mengapa transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban.

Peran Pers dan Hak untuk Tahu

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas memberi amanat agar pers menjalankan fungsi kontrol sosial. Pasal 3 dan 6 menegaskan bahwa pers wajib memenuhi hak publik untuk tahu, serta berperan dalam menyampaikan kritik terhadap kebijakan publik.

Namun ironisnya, masih ada pejabat yang menganggap pertanyaan wartawan tidak perlu dijawab. Padahal, ketika wartawan menanyakan kriteria yang berhak menerima bantuan dan penggunaan dana publik, itu bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan menjalankan mandat konstitusional.

Dalam demokrasi, pers bukan musuh. Justru menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat. Dan demokrasi tidak mungkin hidup dalam kebungkaman.

Penutup: Belajar untuk Terbuka

Pejabat publik bukan pemilik dana rakyat. Mereka hanya diberi amanat untuk mengelolanya demi kepentingan bersama. Maka, setiap rupiah yang dibelanjakan, wajib dipertanggungjawabkan secara terbuka. Bukan untuk menyenangkan, tapi demi menjaga kepercayaan publik yang kian menipis.

Masyarakat tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin tahu: siapa yang menerima, berdasarkan apa, dan dari mana dananya. Pertanyaan sederhana, yang seharusnya dijawab pula dengan sikap sederhana: jujur dan terbuka.

Catatan Redaksi:

Tulisan ini merupakan opini penulis berdasarkan dinamika dan aspirasi warga yang berkembang di lapangan. Tidak ada maksud menyerang pribadi atau lembaga mana pun.

Sesuai Pasal 5 UU Pers, setiap pihak yang merasa dirugikan atau memiliki klarifikasi atas isi opini ini, berhak menyampaikan hak jawab. Redaksi metrorakyat.com akan memuat tanggapan secara proporsional dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Ditulis oleh :Muhadi, Kabiro media metrorakyat.com Kabupaten Simeulue- Aceh

 

Tonton Video Arung Jeram di bawah ini:

Metro Rakyat News