Tuntutan Profesionalisme Polri: Usulan Reformasi Pendidikan Polisi Kembali Mengemuka

METRORAKYAT. COM, JAKARTA – Desakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali mencuat. Hal ini terutama berkaitan dengan usulan peningkatan standar rekrutmen pendidikan, demi menjawab tantangan zaman dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian, Minggu (29/6).
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR RI dan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri yang digelar pada Senin, 26 Mei 2025 di Gedung Nusantara II, anggota Komisi III DPR RI Hinca I.P. Panjaitan XIII secara lantang menyampaikan kritik sekaligus usulan yang menuai perhatian. Ia menyoroti lemahnya fondasi pendidikan aparat kepolisian, khususnya pada jenjang Bintara dan Tamtama, yang mayoritas direkrut dari lulusan SMA dan hanya mendapat pelatihan selama beberapa bulan.
“Kita butuh polisi yang bukan hanya kuat ototnya, tapi juga tajam pikirannya,” ujar Hinca dalam forum tersebut. Ia menyamakan situasi ini seperti “dokter yang tak memahami anatomi,” dan mendorong agar syarat minimal masuk kepolisian adalah lulusan S1. “Hukum itu ilmu, bukan naluri,” tambahnya.
Rekrutmen dan Pendidikan Polisi: Menilik Akar Masalah
Rekrutmen personel Polri selama ini terbagi ke dalam tiga jenjang utama: tamtama, bintara, dan perwira. Sejak era 1980-an hingga kini, mayoritas rekrutan berasal dari pendidikan setingkat SLTA. Bintara—yang menjadi ujung tombak layanan publik dan penegakan hukum—selama ini hanya menempuh pendidikan tujuh bulan, sebelum diterjunkan langsung ke masyarakat.
Padahal, mereka adalah pihak yang paling sering bersentuhan langsung dengan masyarakat, baik dalam pelayanan lalu lintas hingga proses awal penyidikan. Tak jarang, keterbatasan kapasitas intelektual dan komunikasi menyebabkan gesekan yang menurunkan citra Polri di mata publik.
Sebagaimana disampaikan oleh AKP Rismanto Jayanegara Purba, Kanit 3 Subdit III Ditreskrimsus Polda Sumut dan juga dosen hukum pidana di Universitas Darma Agung Medan, “Sudah saatnya pendidikan di Polri tidak hanya mencetak ‘prajurit’, tapi ‘penjaga’—guardian—yang mampu berkomunikasi, memahami hak asasi manusia, dan melayani publik secara beradab.”
Pendidikan Tinggi untuk Polisi Profesional
Pentingnya peningkatan standar pendidikan ini juga tak lepas dari dinamika masyarakat yang semakin terdidik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah lulusan sarjana di Indonesia terus meningkat: dari 3,77% pada 2010, naik menjadi 10,20% pada tahun 2024. Dengan masyarakat yang semakin cerdas, ekspektasi terhadap kualitas pelayanan Polri pun ikut meningkat.
Menurut Rismanto, hal ini menjadi alasan kuat mengapa penyidik Polri idealnya berasal dari latar belakang pendidikan sarjana. Wacana penghapusan jabatan “penyidik pembantu” yang dinilai bernuansa peyoratif, turut menguat dalam pembahasan revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah berlangsung.
“Ini bisa menjadi momentum reformasi mendasar. Jika penyidik disyaratkan lulusan S1, selain kualitas naik, durasi pendidikan juga bisa dipangkas seperti di Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Anggaran pun bisa lebih efisien,” ujar Rismanto.
Pendidikan untuk Masyarakat, Polisi untuk Peradaban
Pandangan para filsuf seperti Aristoteles, John Dewey, hingga Ki Hadjar Dewantara tentang peran pendidikan dalam membentuk individu yang bijaksana dan beradab, menjadi dasar filosofis dari tuntutan profesionalisme Polri. Pendidikan bukan semata tentang teori, tapi pembentukan karakter, kemampuan berpikir kritis, dan bertindak secara etis di masyarakat.
“Dirgahayu Polri ke-79. Saatnya Polri benar-benar menjadi penjaga peradaban, bukan hanya penegak hukum. Untuk masyarakat, oleh masyarakat, dan bersama masyarakat,” pungkas Rismanto.(MR/red)